Oleh. S. F. Asqar
Menulis. Kesan dari kata yang berakar pada kata dasar 'tulis' ini sangat sederhana. Tidak rumit, aktifitas biasa. Dulunya melibatkan batu sabak, kemudian helai lepas kertas dan pena, lalu buku dan pulpen, setelah itu komputer dan papan kunci, dan yang terbaru adalah gawai sejenis ponsel pintar dan turunannya. Menulis. Hanya menyusun kata. Dan ternyata itu salah.
Menulis secara harafiah memang berarti membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dan sebagainya). Tapi menulis juga memiliki arti lain. Kamu bisa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KKBI -- luring melalui buku fisik atau daring melalui berbagai aplikasi -- dan menemukan penjelasan lainnya.
Menulis. v. melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang,membuat surat) dengan tulisan.Menulis bukan hanya membuat huruf, atau menderetkan kata-kata. Menulis adalah sebuah tindakan untuk membuat pikiran, gagasan, pendapat kita bisa disampaikan dan tersimpan lebih lama dibandingkan ucapan suara yang akan hilang tak lama setelah diucapkan.
Pikiran, pendapat, gagasan, wawasan yang tersimpan pada helai kertas, postingan di laman sosial media, lini masa (timeline), atau blog kita jelas akan lebih lama ada dibanding ucapan saat kita berbicara.
Sifat tulisan yang bertahan lebih lama ini, dalam banyak peristiwa malah nyaris bisa disebut abadi, membuat fungsi menulis berubah dari sekedar menyampaikan gagasan atau pikiran kita. Menulis adalah mewariskan pikiran, gagasan, wawasan, pengetahuan kepada dunia dan bisa jadi masa depan.
Mungkin sebagian dari kita lupa, bahwa kita manusia ini bertindak berdasarkan 'data' yang ada dalam kepala kita, dalam database yang kita sebut dengan ingatan. Sering terjadi, kita membaca sebuah tulisan dan itu memberi inspirasi pada tindakan kita.
Menulis adalah mewariskan pikiran, gagasan, wawasan, pengetahuan kepada dunia dan bisa jadi masa depan.
Saat ini, kita berdiri di zaman yang mengerikan. Atas nama kebebasan, dunia sastra dan literasi yang dulunya adalan tempat dengan aturan budaya, kesantunan, tata bahasa yang indah, telah berubah. Atas nama kebebasan, muncul genre yang menyebut dirinya sebagai bagian sastra modern. Tulisan-tuisan yang membahas seksualitas dan aksi seksual secara terlalu vulgar, bahkan digunakan untuk menanamkan ide kehidupan seksual bebas tanpa aturan dengan alasan kebebasan hidup, bermunculan dan meracuni pikiran.
Suka atau tidak suka, ini memang saat kita harus memilih sisi mana kita sebagai penulis berdiri. Apakah kita menjadi bagian mereka yang mengusung kebebasan sebebas-bebasnya, atau menjadi bagian penulis yang mengerti bahwa kebebasan menulis itu ada namun diikat dengan aturan budaya, agama, dan kesantuanan.
Ketika kita belajar dan berlatih melukis kata-kata, kita sebenarnya sedang menetapkan juga di sisi mana kita berdiri. Kita sedang membentuk kebiasaan dalam menulis. Saat itu adalah waktu kita untuk membiasakan kita menghasilkan tulisan yang baik, berkualitas, memiliki nilai manfaat dan kebaikan bagi pembaca kita. Saat itu kita sedang belajarbagaimana cara kita meramu nasihat, petuah, nilai-nilai dakwah, wawasan budaya, ide dan gagasan, dengan cara yang santun, elegan, dan tentu saja indah. Bagaimanapun, kita di sini termasuk bagian mereka yang sepakat, bahwa menulis adalah melukis dengan kata-kata.
Dan kita memang harus menetapkan pilihan. Bahwa kita menulis, mewariskan kata-kata untuk masa depan, dengan santun, untuk kebaikan.
Comments
Post a Comment