Oleh. S. Fadhil Asqar
Sungguh mesra hubungan antara menulis dan membaca. Seperti ombak dan pantai, serupa siang dan metari ataupun malam dan selimut gelapnya. Bagaikan kumbang dan bunga. Tak beda dengan kerbau dan kubangan. Mereka tak terpisahkan.
Saya selalu menyukai permainan dalam menyusun kata. Karena bagi saya menulis itu seperti melukiskan kata-kata. Bukan hanya sekedar menuliskan kata demi kata di helaian kertas, atau lembar kertas simulasi digital di halaman kerja software seperti word.Kadang dibutuhkan lukisan yang rumit, dengan pulasan ribuan warna untuk melukiskannya. Tak jarang juga hanya diperlukan kata demi kata sederhana, yang mudah dipahami. Tapi tetap saja menulis itu membutuhkan susunan dan aturan yang membuat semua kata itu menjadi enak dibaca.
Saya termasuk yang tidak mendukung pendapat, bahwa atas nama kebebasan berekspresi lantas kita dibenarkan menulis suka-suka tanpa aturan. Ingin menulis bebas lepas dengan gaya percakapan sehari-hari, ada aturan dan polanya. Ingin menulis dengan gaya sastra yang rumit melingkar, hingga jangankan untuk pembaca memahaminya, kadang-kadang penulisnya sendiri bingung karena terlalu rumit, ah tetap ada aturannya. Atau sastra dengan bahasa yang tinggi tapi dituliskan sederhana? tetap juga, ada aturannya.
Mungkin karena saya percaya bahwa segala seuatunya ada aturan. Bahkan ketidak teraturan memiliki 'aturan'. Ini pendapat yang tidak perlu didiskusikan terlalu dalam, karena terlalu panjang nanti :)
Kenyataan menarik, banyak penulis ternyata tidak memahami aturan menulis secara sadar. Tak terhitung kita yang belajar menulis, membuat tulisan dengan berpegang pada wawasan dalam kepala kita, tapi tak sadar bahwa yang kita lakukan adalah sesuatu yang punya nama istilah rumit dalam ilmu menulis. Kita menggunakan majas, tanpa tahu itu majas apa.
Kenapa bisa begitu?
Sederhana. Karena kita manusia dilahirkan dengan satu naluri dasar, bertahan hidup. Dan ketika kita memutuskan untuk menulis, secara naluriah kita melakukan proses awal dari sistem pertahanan kita, belajar !
Kita membaca buku demi buku. Dan belajar secara alami, dengan cara mencontoh dan meniru. Kita memperhatikan gaya penulis dari buku/novel/cerpen yang kita suka. Kita tanpa sadar merekam pilihan kata yang digunakan, cara menyusun kata, pola dalam menyampaikan cerita, alur yang digunakan. Ada yang melakukan secara sadar, tapi cukup banyak yang melakukan di bawah sadar.
Semakin beragam bacaan kita, semakin banyak wawasan yang kita simpan. Kita mungkin tidak tahu nama atau istilah teoritisnya. Tapi kita menggunakan contoh langsung, seperti orang yang melihat cara membuat nasi goreng berkali-kali, lalu mencoba dengan meniru.
Beragam dan banyaknya wawasan kita juga membuat cara menulis akan berkembang. Seperti bunga yang tumbuh di sebuah kebun penuh beragam jenis bunga, peluang buang itu berkembang dan memiliki atau menjadi variasi bunga yang baru, jauh lebih besar. Dibandingkan bunga yang tumbuh dilahan kosong dengan lingkungan terpisah jauh dari apapun.
Membacalah. Yang banyak. Agar wawasan kita, contoh dalam kepala kita semakin banyak. Dan kemampuan menulis kita akan berkembang. Lalu mulailah menulis, karena sebagus apapun wawasan tentang menulis, bila tidak digunakan atau dituliskan, tidak akan ada gunanya.
Bagaimanapun, ada hal penting yang tidak boleh dilupakan saat membaca. Tapi itu akan kita sampaikan di tulisan lain.
Untul saat ini, lakukan dulu yang utama, menulislah. (SFA)
--
Catatn dari Admin :
Tulisan lainnya dari S. Fadhil Asqar bisa dibaca di www.sayidfadhilasqar.com
Comments
Post a Comment