Skip to main content

Aku Menulis Maka Aku Ada


Oleh. Fauraria Valentine


“Jika kau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar. Maka menulislah” –Imam Al. Ghazali- 

Kalimat yang menimbulkan ketertarikan, tentang arti dari menulis bagi diri. Namun tetap saja selalu butuh waktu untuk menjawab bila ada yang bertanya. Mengapa harus menulis?

Entahlah mungkin agak sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Karena menulis adalah sala satu kegiatan yang mampu membuat adrenalin memuncak. Jantung memompa darah lebih cepat, membuat emosi meluap. Setiap orang mungkin punya cara yang berbeda untuk dapat menikmati sensasi seperti ini. Seperti halnya sulit menjabarkan rasa manisnya gula atau pedasnya cabai, maka cara terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan mencobanya.

Bagi penulis ide sering kali muncul tanpa disadari, mengembang dan mengerucut sesukanya. Saat ide mengalir, tiap kata berusaha keluar dari pintu-pintu imajinasi yang kadang bahkan tak pernah terfikirkan sebelumnya. Kalimat demi kalimat mendobrak tak karuan. Jemari didesak menari, melompati dari huruf yang satu ke huruf lainnya. Lumatlah sebuah ide menjadi karya. Mungkin itu yang biasa di lakukan penulis profesional, yang kesehariannya memang berkecimpung dengan begitu banyak ide dan meraciknya menjadi karya yang selalu di nanti pembacanya. Lalu bagaimana dengan penulis pemula, yang bahkan untuk menemukan ide saja terasa sulit?

Sebagai orang yang mengalami masalah serius dalam hal ini, maka saya sering mendiskusikannya dengan senior di bidang kepenulisan. Saat di tanya mengenai sumber ide, dengan mudah mereka menjabarkan ide demi ide dari apa saja yang ada di hadapan mata. Hal-hal yang sangat sederhana bahkan, tapi bila diolah oleh orang seperti mereka selalu berhasil menjadi karya menggugah bagi pembacanya.

Kesimpulan yang dapat di ambil dalam hal ini adalah ide ada disekitar kita, maka menumbuhkan kepekaan akan sebuah ide, meramunya menjadi sebuah gagasan yang menarik adalah tugas penting.

Lalu bagaimana belajar menimbulkan kepekaan itu?? Dengan memulai, tentunya. Pasti, masing-masing dari kita semua punya hal-hal yang berbeda yang merangsang ketertarikan terhadap sebuah situasi atau benda. Meski kita merasa itu adalah hal yang sangat biasa, belum tentu dirasa sama oleh orang lain. Maka mulailah meramu ide, sesegera mungkin saat dia datang. Seperti makanan yang bisa basi, pun ide akan menjadi begitu. Maka saat ia muncul jangan biarkan waktu membuatnya bercampur dengan rasa malas yang kemudian menjadikannya basi, terbuang begitu saja. Memang, komitmen menjadi hal paling mendasar dalam hal ini. Merasa berat?? Ingat, untuk menikmati pemandangan indah sering kali kita harus melewati semak belukar dan jalur yang terjal.

Kemudian masalah selanjutnya adalah pengolahan ide yang tak sesuai ekspektasi, mentok, dan sering kali ditinggal kabur. Ide memang selalu datang menggebu di awal. Sama halnya seperti api yang nyalanya harus tetap dijaga melalui ketersediaan sumber bahan bakar dan juga udara. Artinya tidak hanya ide saja yang kita butuhkan tapi juga ruang-ruang pada ide. Ruang yang bisa kita isi sehingga ia mampu mengembang, membentuk pola seperti yang di inginkan. Kebuntuan pasti dialami semua orang, maka proses pengendapan mungkin menjadi solusi. Kadang kita harus memberi ruang yang sama pada diri untuk melakukan hal-hal lain yang bisa membuat pikiran kembali rileks. Sehingga ide bisa tetap kita kontrol dan berada dibawah kendali. Tapi tepat, fokus utamanya adalah merampungkan sebuah ide menjadi karya. Menyelesaikannya sampai tuntas. Karena apapun bentuknya, bagaimanapun hasil akhirnya. Ketika sebuah ide telah menjadi karya maka ada nilai di dalamnya; Tulisan yang bagus-buruk, berkesan-tidak berkesan, menggugah-sangat membosankan, dengan nilainya masing-masing. Sedangkan ide yang mengambang, sebagus apapun dia maka tetaplah hanya ide yang lepas dan tidak memiliki raga. Tak tentu rupanya, tak tahu siapa pemiliknya.

Agaknya pas sekali seperti unggapan berikut;

“Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi” -Helvy tiana rosa-

Jadi mengapa harus menulis? Baiklah, bagi saya menulis adalah melantangkan suara lewat kata dan kalaimat untuk mewakili rasa. Meski jauh dari sempurna, tapi menulis adalah sesuatu yang tak pernah terfikir untuk berhenti melakukannya.




























Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kenduri Sastra 4

Image courtesy of Rasnadi Nasry Minggu, 31 Januari 2016. Tiga komunitas kepenulisan di Dataran Tinggi Gayo; Garis Tepi (Bener Meriah), Kompak (Takengon), dan FLP Takengon (Takengon), menggelar Kenduri Sastra 4. Kegiatan yang sering disebut dengan nama Kensas ini adalah kegiatan rutin yang diluncurkan sebagai bentuk kepedulian dan usaha untuk mengembangkan minat baca tulis di wilayah Dataran Tinggi Gayo (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues.)

Antara Menulis Dan Membaca

Oleh. S. Fadhil Asqar Sungguh mesra hubungan antara menulis dan membaca. Seperti ombak dan pantai, serupa siang dan metari ataupun malam dan selimut gelapnya. Bagaikan kumbang dan bunga. Tak beda dengan kerbau dan kubangan. Mereka tak terpisahkan.