Skip to main content

Tentang Sebuah Negeri

photos courtesy of Nyak Yus
Oleh: Lugedanatrifari

Berada di ketinggian 200-2.600 m diatas permukaan laut, satu keunggulan bagi negeri ini. Ditanahnya tumbuhan dan hewan seolah menemukan surganya. Subur tanahnya, melimpah airnya, hijau alamnya. Seperti nama lain negeri ini, serpihan tanah surga. Gambaran kehidupan tanpa rasa lapar, kekeringan, gersang, dan kemiskinan. Jikapun kehidupan itu terselip ditanah ini, saya rasa bukan karena perhitungan tuhan melainkan nafsu dan rasa syukur yang mungkin kurang dari penghuninya.

Ada juga yang menyebutnya negeri antara. Gambaran dari sebuah daerah yang dulunya diragukan eksistensinya, apakah bagian dari suku aceh atau suku yang bertolak belakang dengannya. Namun, tanoh gayo berada ditengah-tengah wilayah Aceh. Untuk nama lainnya ia disebut-sebut sebagai negeri diatas awan. Sebelum matahari benar-benar memancarkan cahaya secara maksimal, pemukiman penduduk akan terlihat berselimut kabut. Suasana pagi yang lazim ditanah ini, saat awan menyalami bumi dipagi hari. Tenang. Melankolis yang bersahabat.

Dalam balutan fajar, wajah tanah ini masih enggan tampak. Ia menyembunyikan diri merayu kabut agar tetap membalut tubuhnya. Dibawah cahaya mentari, jajaran kehidupan dengan dominasi warna hijau terpancar. Saat matahari diatas kepala, gelombang fatamorgana bersebaran dipermukaan danau. Tidak jauh berbeda jika malam telah mengambil waktunya, riak air membiarkan bias cahaya mengaktualisasikan diri diatas permukaannya. Fenomena alam yang familiar dimanapun, namun rasa syukur karena dipilih sebagai salah satu bagiannya menjadi pembeda rasa kita.

Dengan luas wilayah 4.318,39 km2 tanah ini menapung ribuan tubuh manusia. Dari suku asli Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Tionghoa dan suku lainnya tumbuh, menghirup oksigen dari tanah yang sama. Memikul puluhan pengunungan. Menampung miliaran kubik air dari danau laut tawar. Pegunungannya merupakan salah satu bagian dari paru-paru dunia. Hutan lindung lauserantara. Karena itu tanah ini masih hidup tanpa cerobong asap dari pabrik liar. Tanpa bangunan yang tinggi menantang langit. Wajahnya sederhana menutupi kekayaan yang ia punya. Berdiri tanpa kesombongan.

Jika ingin melihatnya lebih dekat, tanoh gayo punya puluhan sejarah kemerdekaan. Lekuk tubuh gunungnyapun dikelilingi legenda. Akan kita temukan legenda seorang putri cantik yang mendiami dasar danau laut tawar, putri ijo. Putri pukes yang menjadi batu. Kisah atu belah syarat akan makna kekeluargaan. Taman aulia yang hanya mampu dinikmati mata manusia berhati jernih. Untuk legenda lainnya, sepertinya akan tersimpan rapi jika kaki kita tidak coba mendekatinya.

Bicara masalah kekayaan alam, jelas tanah ini bukan tipe yang mendiskriminasi hidup tanaman tertentu. Semua tumbuhan ia jadikan teman. Dari 52,711 Ha luas wilayah perkebunannya, ia menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi. Pertahun 4.604,18 ton dari biji emas merah ini menyambangi berbagai negara dibelahan dunia. Kopi Gayo yang mungkin lebih masyur ditelinga dunia dari pada tanah kelahiran sang kopi itu sendiri.Untuk jenis buah lainnya yang membutuhkan suhu tinggi, mereka tetap diterima hidup ditanah ini namun mereka membutuhkan tenaga lebih berjuang hidup untuk menghasilkan buah.

Setiap tahunnya berton-ton mulai dari tanaman palawija, biofarma, buah-buahan ia suguhkan untuk keperluan manusia. Jika diperhalus tidak ada alasan untuk para penduduk yang bermukim disini kekurangan gizi. Bayangan suasana panen memeluk pikiran hingga terbersit pertanyaan bukankah tanah ini punya semuanya. Biji yang dibuang saja, tumbuh menghasilkan terlebih lagi dengan tanaman yang mendapat perlakuan hidup lebih pantas dan selaknya. 

Masalah asupan protein, danau laut tawar adalah sahabat bagi para nelayan kami. Beberapa jenis ikan endemik berenang bebas didalamnya. Disediakan tuhan untuk dinikmati manusia. Mujair dengan ukuran besarpun mampu ia hasilkan. Konon lagi dengan ikan-ikan jenis lain yang jarang kita dapati dipasar ikan-ikan laut. Salah satu efek menjaga kehidupan hutan yang memunculkan ribuan mata air bersih ditanah ini.

Karena sumber air bersih melimpah, air keruh dibiarkan mengalir begitu saja mengikuti lekuk aliran sungai tanpa menggunakannya dalam keperluan sehari-hari. Soal suhu udara, namanya dataran tinggi gayo untuk dingin lebih dominan membalut bumi ini. Gambaran apapun yang dimiliki tanah ini menjadi gambaran jelas seperti apa tuhan menurunkan rahmat pada penduduknya. Bagaimana Allah menurunkan rizki yang hanya butuh rasa mau untuk mendapatkannya. Bagiku, apapun yang tanah ini punya seolah menjadi teguran bagi tubuh-tubuh yang masih enggan bersujud.

Aktivitas penduduk negeri ini juga masih banyak yang meletakkan adat sebagai aturan benarnya. Kreativitas seni yang diwariskan leluhurnya juga syarat akan makna ber-islam. Mulai dari syair didong, kesenian yang dulunya menjadi media dakwah. Cara menegur, mengajar, memberitahukan kesalahan dalam bermasyarakat dalam aturan islam. Tarian-tarian berwajah pesan moral dan wujud syukur. Jika memiliki keinginan lebih dekat dengan tanah ini, masih banyak potensi seni yang tanah ini miliki. Hanya saja, untuk generasi gayo saat ini banyak dari wajah kesenian dan warisan leluhur kami menghilang diperjalanan zaman.

Engonko so tanoh Gayo, simegah mureta dele. Lihatlah itu tanoh Gayo, yang terkenal memiliki banyak harta. Penggalan lagu tawar sedenge dari A.R Moese, pilihan kata yang kubisikkan pada diri sendiri. Kembali kedunia nyata dengan spontanitas tarikan nafas panjang, sadar betapa tuhan menitipkan potensi besar ditanah ini. Tersadar dari gambaranku melihat kota Takengon. Saat tubuhku berdiri di ketinggian yang tepat untuk melihat wajahnya, singgah mata. Memaknai keberadaannya saat matahari memulai menunjukkan cahaya. Saat kabut perlahan bergerak meninggalkan badan-badan gunung. Langit masih mengijinkan beberapa bintang berkelap-kelip mengabarkan adanya. Sedangkan awan menanti panas surya mengangkatnya dari sela-sela kehidupan di negeri kami ini. Setelahnya, akan tampak oleh kita hamparan pemukiman yang menempel nyaman dibibir danau. Danau laut tawar, sumber kehidupan negeri ini yang membentang dari timur ke barat. Menambah objek lukisan alam tanoh gayo yang dipagari oleh pegunungan.

Negeri yang dilahirkan sederhana. Tanpa tokoh yang mendunia. Tidak ada cerita putri yang melegenda di telinga semesta. Tanpa menara atau kastil yang bersejarah. Bukan negeri yang berlimpah akan sejarah peradaban. Mungkin tidak diletakkan sebagai negeri tujuan destinasi bagi penggemar ilmu pengetahuan. Namun, inilah tanah kami para penduduk yang konon bernenek moyangkan para golongan melayu tua suku leong, chong, lie dan hoo dari bangsa mongolia. Para pendatang yang akhirnya menciptakan bahasa sendiri, budaya sendiri, tradisi sendiri, sejarah sendiri. Penduduk yang menguatkan identitasnya sebagai suku Gayo dan berregenerasi di lekuk tubuh negeri dataran tinggi gayo.

Tulisan lainnya dari penulis dapat dibaca di http://lugedanatrifari.blogspot.co.id/

Comments

Popular posts from this blog

Aku Menulis Maka Aku Ada

Oleh. Fauraria Valentine “Jika kau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar. Maka menulislah” –Imam Al. Ghazali-  Kalimat yang menimbulkan ketertarikan, tentang arti dari menulis bagi diri. Namun tetap saja selalu butuh waktu untuk menjawab bila ada yang bertanya. Mengapa harus menulis? Entahlah mungkin agak sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Karena menulis adalah sala satu kegiatan yang mampu membuat adrenalin memuncak. Jantung memompa darah lebih cepat, membuat emosi meluap. Setiap orang mungkin punya cara yang berbeda untuk dapat menikmati sensasi seperti ini. Seperti halnya sulit menjabarkan rasa manisnya gula atau pedasnya cabai, maka cara terbaik untuk mengetahuinya adalah dengan mencobanya.

Kenduri Sastra 4

Image courtesy of Rasnadi Nasry Minggu, 31 Januari 2016. Tiga komunitas kepenulisan di Dataran Tinggi Gayo; Garis Tepi (Bener Meriah), Kompak (Takengon), dan FLP Takengon (Takengon), menggelar Kenduri Sastra 4. Kegiatan yang sering disebut dengan nama Kensas ini adalah kegiatan rutin yang diluncurkan sebagai bentuk kepedulian dan usaha untuk mengembangkan minat baca tulis di wilayah Dataran Tinggi Gayo (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues.)

Antara Menulis Dan Membaca

Oleh. S. Fadhil Asqar Sungguh mesra hubungan antara menulis dan membaca. Seperti ombak dan pantai, serupa siang dan metari ataupun malam dan selimut gelapnya. Bagaikan kumbang dan bunga. Tak beda dengan kerbau dan kubangan. Mereka tak terpisahkan.